10 TEMUAN SPESIES BARU ASLI INDONESIA | baru
1.Laba-Laba Mata Kecil Ditemukan di Menoreh
Ilmuwan Indonesia menemukan spesies laba-laba gua eksotis di bukit Menoreh, Jawa Tengah. Penemuan Cahyo Rahmadi dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini membuka penemuan spesies baru Indonesia di tahun 2012.
“Jenis baru laba-laba ini diberi nama Amauropelma matakecil karena memiliki mata yang mengecil dan menyisakan bintik-bintik putih di bagian kepalanya,” kata Cahyo kepada Kompas.com, Kamis (12/1/2012).
Penemuan laba-laba mata kecil ini adalah hasil kerjasama Cahyo dengan Jeremy Miller dari Naturalis Leiden, Belanda.
Laba-laba ini berwarna putih pucat dan memiliki kaki yang memanjang, berbeda dengan laba-laba dari luar gua. Selama ini, laba-laba gua di Jawa tak banyak diketahui. Spesies laba-laba gua Jawa yang umumnya dikenal adalah Althephus javanensis.
Cahyo mengungkapkan, laba-laba gua yang tergolong dalam famili Ctenidae ini dimasukkan dalam marga Amauropelma. Meski demikian, penempatan dalam marga ini masih perlu dikaji lebih lanjut. Sampai saat ini marga inilah yang paling cocok.
Penemuan laba-laba marga Amauropelma adalah pertama di Jawa sebab umumnya marga Amauropelma ditemukan di Australia. Sejauh ini, marga Amauropelma di Jawa hanya ditemukan di tiga gua kawasan bukit Menoreh, pegunungan karst perbatasan barat DI Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Cahyo menuturkan, “Amauropelma matakecil merupakan salah satu jenis yang unik, karena dari beberapa kali usaha koleksi dari gua-gua di Menoreh hanya diperoleh spesimen betina. Spesimen jantan yang penting untuk memastikan identitas jenis ini gagal diperoleh setelah tiga kali usaha pencarian.”
Ada dugaan bahwa laba-laba gua ini merupakan jenis parthenogetik, atau organisme yang lahir dari telur-telur yang tidak dibuahi. Namun demikian, dugaan ini masih perlu diteliti lebih lanjut.
Dalam publikasi penelitian di jurnal Zookeys, Senin (9/1/2012), Cahyo menuturkan, “A. matakecil adalah laba-laba gua paling luar biasa dari Jawa karena ukurannya yang besar, matanya yang mengecil dan kepentingan konservasi.”
Tercatat dalam pengukuran spesimen betina yang didapatkan, ukuran karapas laba-laba gua ini 3,4 x 2,2 cm, sementara ukuran abdomen atau perutnya adalah 4,12 x 2,64 cm. Total panjang laba-laba gua ini adalah 7,7 cm.
Sementara, dari sisi biodiversitas, laba-laba ini membuktikan bahwa bukit Menoreh kaya akan keanekaragan hayati yang perlu diungkap. Perhatian pada penelitian eksplorasi spesies di wilayah itu diperlukan.
Wilayah Bukit Menoreh saat ini tengah terancam oleh pembukaan pabrik semen di beberapa wilayah. Dengan sendirinya, hal ini menjadi ancaman juga bagi A. matakecil dan spesies lain yang belum terungkap.
“Kebutuhan yang mendesak saat ini adalah perlunya rencana strategis ke depan untuk pengelolaan kawasan karst sehingga dapat diselamatkan dan dimanfaatkan tanpa merusak dan menghilangkan potensi yang ada di dalamnya baik potensi biologi, hidrologi maupun potensi lain yang tidak dapat dinilai dengan uang,” ujar Cahyo.
Klasifikasi :
Kelas : Arachnida
Ordo : Araneae
Famili : Ctenidae
Marga : Amauropelma
Jenis : Amauropelma matakecil Miller & Rahmadi, 2012
Editor:A. Wisnubrata
Amauropelma matakecil, jenis baru laba-laba yang ditemukan di Bukit Menoreh.
—————
2. Inilah Monster “Garuda” dari Sulawesi
Penulis : Yunanto Wiji Utomo | Sabtu, 27 Agustus 2011 | 14:13 WIB
Ahli serangga dari University of California menemukan spesies baru tawon dalam ekspedisi ke Sulawesi. Tawon tersebut dijuluki tawon monster sebab penampakannya yang menakutkan, memiliki mandibula bak ninja dan rahang yang lebih panjang dari kaki depannya.
“Rahang hewan ini begitu besar sehingga menutup bagian samping kepala. Jika rahang terbuka, akan tampak lebih panjang dari kaki depan tawon jantan ini,” ungkap ahli serangga Lim Kimsey, seperti dikutip Daily Mail, Kamis (25/8/2011).
Kimsey yang juga kepala Bohart Museum of Entomology mengatakan bahwa ia berencana memberi nama tawon tersebut “garuda”, sesuai lambang Indonesia. Ia mengatakan, tawon ini cenderung memilih untuk memakan serangga lain. Namun, jika terancam, tawon ini juga bisa menyerang manusia.
Tawon ini ditemukan di pegunungan Mekongga. Menurut Kim, kawasan Mekongga dan Sulawesi pada umumnya memiliki keanekaragaman yang besar. Ia mengatakan, selama tiga kali perjalanan ke Sulawesi, ratusan spesies mungkin bisa dikatalogkan.
Kimsey mengatakan, di Sulawesi, banyak ditemukan spesies langka dan belum pernah dilihat di belahan dunia lain. Ia berharap penemuan spesies tawon ini bisa menggugah kesadaran warga masyarakat terhadap perlunya melestarikan biodiversitas di kawasan itu.
Sumber: dailymail.co.uk
Editor:Asep Candra
Tawon monster Garuda yang ditemukan di Sulawesi.
———————
3. Anggrek Berbunga Mini Ditemukan di Kalimantan
Penulis : Yunanto Wiji Utomo | Rabu, 11 Juli 2012 | 14:25 WIB
Peneliti anggrek dari Kebun Raya Purwodadi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Destario Metusala, kembali menemukan spesies baru anggrek.
Spesies yang ditemukan ini bernama Dendrobium mucrovaginatum Metusala & J.J.Wood. Jenis ini dikoleksi oleh tim peneliti Kebun Raya Purwodadi di wilayah Kalimantan Barat pada tahun 2006.
“Salah satu keunikan bunga ini adalah ukurannya yang mini. Diameternya hanya kurang lebih 1 cm. Rata-rata anggrek berdiameter 5 cm, kalau yang besar bisa sampai 10 cm,” ungkap Destario.
Karakter unik lain adalah ujung pelepah daunnya yang memiliki tonjolan sempit memanjang berujung runcing. Sifat inilah yang membuat anggrek ini memiliki nama spesies “mucrovaginatum”.
“Yang juga unik adalah karakter bibir bunganya yang memiliki 3 kalus sejajar permukaannya. Sementara bagian ujung bunganya membelah membentuk dua ruang,” urai Destario saat dihubungi Kompas.com, Rabu (11/7/2012).
Bagian pangkal kelopak samping dan bibir bunganya termodifikasi membentuk tabung memanjang yang berisi cairan nektar. Diduga, modifikasi ini memungkinkan serangga polinator yang menghisap cairan nektar sekaligus memindahkan pollinia (benang sari) ke stigma (putik), membantu reproduksi bunga.
D. mucrovaginatum mulai disadari merupakan spesies baru setelah tim peneliti dari Kebun Raya Purwodadi menumbuhkan spesimen dari spesies tersebut dan melihat karakteristik bunganya.
Identifikasi dilakukan lebih lanjut dengan melihat lebih detail karakter organ vegetatif dan generatif bunga. Selanjutnya, hasil identifikasi dibandingkan dengan karakter bunga lain yang berkerabat dekat.
Sosok D. mucrovaginatum tumbuh merumpun dan dapat mencapai tinggi 30 cm. Batang bagian atas memiliki diameter 1 mm dan menggembung di bagian pangkal bawahnya sebagai tempat penyimpan cadangan makanan.
Destario mengatakan, anggrek jenis baru ini berpotensi menghasilkan anggrek hibrida yang berpotensi bisnis. Ada dua karakteristik D. mucrovaginatum yang dinilai bagus, yakni sifat bisa berbunga tanpa mengenal musim serta ukuran bunga yang mini.
“Kita nanti bisa melakukan persilangan untuk mendapatkan anggrek hibrida yang berukuran besar dan berwarna mencolok tetapi bisa berbunga sepanjang tahun,” ungkap Destario.
“Bunga yang mini juga menarik. Kita juga bisa mengembangkan berbagai anggrek mini. Ini potensial. Tanaman ini cuma sebesar rumput. Dengan keterbatasan lahan seperti di Jakarta misalnya, kita bisa kembangkan anggrek yang cocok ditumbuhkan di apartemen-apartemen,” tambah peneliti yang aktif menekuni taksonomi anggrek ini.
Hasil temuan Destario dipublikasikan di jurnal Malesian Orchid Journal Vol. 10 pada bulan Juli 2012, bersama spesies Cleisocentron kinabaluense yang juga ditemukan Destario sebelumnya. Kalimantan diketahui memiliki 1800 nama taksa anggrek. Hampir setiap tahunnya, spesies baru selalu ditemukan di pulau itu.
Editor: A. Wisnubrata
Spesies yang ditemukan ini bernama Dendrobium mucrovaginatum Metusala & J.J.Wood
———–
4. Kelelawar Tanpa Ekor Ditemukan di Sulawesi
Penulis : Yunanto Wiji Utomo | Rabu, 25 Juli 2012 | 16:07 WIB
Pakar kelelawar dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Ibnu Maryanto, menemukan spesies baru kelelawar tanpa ekor di Sulawesi yang dinamai Thoopterus suhaniae.
“Kelelawar ini berbeda karena memiliki rahang yang lebih besar, lengan lebih panjang, dan ekornya tidak ada atau mengalami reduksi menjadi rudiment. Punya ekor, tetapi tidak tampak,” ungkap Ibnu saat dihubungi Kompas.com, Rabu (25/7/2012).
Ciri yang lain, bagian uropatagium (area di antara dua kaki depan) sangat minim bulu. Selain itu, bukaan uretra atau saluran kecil pada penis tak terlalu tampak.
Ibnu mengatakan bahwa semula, Thoopterus suhaniae diduga merupakan spesies Thoopterus nigrescens. Namun, karena ada ciri berbeda pada kelelawar itu, Ibnu dan rekan melakukan penelitian lebih lanjut dan membuktikan bahwa fauna itu memang spesies baru.
Untuk mengonfirmasi bahwa Thoopterus suhaniae merupakan spesies baru, Ibnu dan rekan melakukan analisis pada 102 spesimen yang diambil dari wilayah Sulawesi Tengah, Buton, Sula, Talaud, dan Kepulauan Wowoni.
Ibnu menuturkan, spesies baru ini merupakan persembahan bagi istri rekan kerjanya yang meninggal saat melakukan penelitian di Taman Nasional Lore Lindu tahun 2000 silam.
“Nama suhaniae diambil dari nama istri teman penelitian saya, Mohammad Yani, yang meninggal saat kami penelitian. Nama istrinya Suhaniah, meninggal pada 31 Maret 2000 lalu,” ungkap Ibnu.
Thoopterus suhaniae merupakan jenis kelelawar ukuran sedang yang memakan buah. Jenis kelelawar ini terdistribusi di daratan 60-2.100 meter di atas permukaan laut. Habitatnya bisa berupa hutan primer, sekunder, maupun kebun kopi. Meski demikian, fauna ini lebih banyak terdapat di hutan primer dataran rendah dan menengah.
Thoopterus suhaniae adalah spesies kedua dari genus Thoopterus yang ditemukan di Sulawesi. Penemuan ini menunjukkan bahwa Sulawesi merupakan hot spot evolusi Pteropodidae.
Pteropodidae merupakan golongan kelelawar yang memiliki mata besar, memakan buah atau bunga, serta tersebar di Afrika, Asia Tenggara, dan Australia. Beberapa spesies kelelawar golongan ini termasuk soliter, mendiami pohon atau gua.
Ibnu menjelaskan, perusakan hutan primer dan perburuan kelelawar di utara dan tengah Sulawesi mengancam populasi kelelawar spesies baru ini. Karenanya, upaya konservasi diperlukan.
Hasil riset ini dipublikasikan di Records of the Western Australian Museum bulan Juni 2012 lalu.
Editor: Kistyarini
Kenampakan dorsal (punggung) dan ventral (perut) Thoopterus suhaniae.
—————
5. Katak Rawa “Kekar” Ditemukan di Riau
Penulis : Yunanto Wiji Utomo | Selasa, 28 Agustus 2012 | 06:18 WIB
Satu lagi jenis katak baru ditemukan di Indonesia, menandakan bahwa Indonesia kaya akan beragam jenis amfibi. Spesies yang ditemukan kali ini dinamai Hylarana rawa.
Penemuan spesies ini melalui proses panjang. Pada tahun 2007, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan beberapa pihak menginventarisasi biodiversitas Suaka Margasatwa Giam-Siak Kecil. Tujuannya, sebagai acuan pengajuan suaka margasatwa sebagai cagar biosfer.
Dalam proses inventarisasi, peneliti dan teknisi herpetologi LIPI, Ir Mumpuni dan Mulyadi, berhasil mengambil satu spesimen katak yang kemudian dideskripsikan sebagai Hylarana rawa ini.
Jumlah spesimen yang berhasil dikoleksi hanya satu. Spesimen itu kemudian dibawa ke Museum Zoologi Bogor. Identifikasi morfologi saat itu hanya berhasil mengidentifikasi hingga tingkat genus, yakni Rana.
Rana sebelumnya adalah marga yang juga menaungi Hylarana. Karena perkembangan taksonomi, maka Rana sekarang terbagi menjadi beberapa marga baru, di mana Hylarana hanya salah satunya.
Identifikasi secara molekuler pada spesimen baru dilakukan Amir Hamidy dari Museum Zoologi Bogor bersama pembimbing S-3-nya di Kyoto University, Masafumi Matsui, pada tahun 2012.
“Dari hasil analisis molekuler dari mitokondria DNA, gen 16S rRNA, bisa diketahui bahwa MZB Amp 14656 (kode spesimen) merupakan jenis baru, dengan perbedaan jarak genetik yang cukup besar 13,9–15,7 persen dari jenis-jenis lain sekerabatnya,” urai Amir.
Peneliti juga membandingkan spesimen dengan tiga jenis katak segenus lain, Hylarana baramica, Hylarana laterimaculata, dan Hylarana glandulosa. Ciri-ciri yang membedakan jenis-jenis tersebut diidentifikasi.
“Karena MZB Amp 14656 merupakan spesimen jantan, maka kami berhasil mengidentifikasi salah satu karakter seks sekunder, yaitu memiliki humeral gland (kelenjar di lengan atas) yang sangat besar dibandingkan dengan ukuran badannya,” jelas Amir. Kelenjar tersebut membuat lengan katak terkesan kekar.
Selain karakteristik itu, dalam surat elektronik kepada Kompas.com, Senin (27/8/2012), Amir juga mengatakan bahwa Hylarana rawa memiliki selaput kaki yang minimal, tak seperti katak jenis lain.
Tentang nama “rawa” sendiri, Amir mengatakan, nama itu dipilih sesuai habitatnya di rawa. Menurutnya, tak banyak jenis katak yang bisa beradaptasi dan hidup di lingkungan rawa gambut yang asam.
Setelah deskripsi Hylarana rawa sebagai spesies baru, pencarian lagi spesies itu masih perlu dilakukan. Hingga saat ini, informasi biologi seperti populasi dan status konservasinya belum diketahui.
“Jangan sampai penemuan kali ini menjadi yang terakhir ditemukannya Hylarana rawa. Kekhawatiran ini cukup beralasan karena amfibi merupakan hewan yang sangat rentan dengan perubahan lingkungan, termasuk pemanasan global,” ungkap Amir.
Penelitian ini dipublikasikan di jurnal Current Herpetology edisi Juni 2012.
Editor:Eko Hendrawan Sofyan
Lengan Hylarana rawa terlihat kekar karena adanya humeral gland.
—————
6. Empat Spesies Ikan Pelangi Ditemukan di Surga Papua
Penulis : Yunanto Wiji Utomo | Senin, 23 Juli 2012 | 13:44 WIB
Kerjasama penelitian perikanan antara ilmuwan Indonesia dan Perancis membuahkan hasil yang mengagumkan. Tim peneliti berhasil menemukan empat spesies ikan pelangi baru dari Teluk Arguni, Kaimana, Papua Barat.
Renny K Hadiaty, peneliti Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang terlibat riset mengungkapkan, salah satu jenis baru yang ditemukan ialah Melanotaenia arguni atau Rainbow Arguni.
Melanotaenia arguni memiliki warna cokelat muda di bagian dorsal dan putih kelam di bagian bawah tubuhnya. Sementara itu, warna abu-abu memencar indah dari bagian pangkal hingga ujung siripnya.
Spesies lain yang juga ditemukan adalah Melanotaenia urisa atau Pelangi Urisa. Sisik pada bagian atas tubuh ikan ini berwarna cokelat sementara sirip pektoralnya bening. Tubuh ikan ini juga dihiasi delapan baringan strip cokelat.
Spesies tersebut berasal dari aliran dan genangan dangkal air tawar. Volume genangannya dipengaruhi oleh fluktuasi air Danau Sewiki, terletak 6 kilometer tenggara Kampung Urisa, Arguni Bawah.
Jenis yang tak kalah indah adalah Melanotaenia veoliae atau Rainbow Veolia. Salah satu yang khas dari jenis ini adalah adanya noktah merah muda di belakang mata. Ciri lain, sirip serta anal berwarna merah darah disekat warna biru.
Melanotaenia veoliae ditemukan di Sungai Gebiasi, sungai yang terletak 14 kilometer selatan Wanoma, Arguni Bawah. Sungai Gebiasi bersumber dari air karst, pertama mengalir 60 meter, lalu ke bawah tanah dan muncul lagi 200 meter di tubir batu dekat kawasan mangrove setempat.
Jenis terakhir yang ditemukan adalah Melanotaenia wanoma atau Pelangi Wanoma. Jenis ini ditemukan di Sungai Wermura, 16 km selatan wanoma, Arguni Bawah. Bagian atas tubuhnya berwarna kecokelatan, tutup insang berwarna emas, sirip dorsal dan anal serta kuncup sirip berwarna kemerahan.
Habitat Pelangi Wanoma dialiri air kristalin dari barisan pegunungan karst Kaimana. Sungai ini pertama mengalir sejauh 200 meter sebelum menghilang di batuan karst lalu muncul kembali 1 kilometer di kawasan mangrove setempat.
Keempat spesies yang ditemukan kali ini merupakan hasil ekspedisi penelitian Lengguru-Kaimana yang dilakukan pada tahun 2010. Dalam ekspedisi ini, terlibat pula Laurent Pouyaud, peneliti dari Institut de Recherche pour le Dèveloppement (IRD) Perancis.
Selama ekspedisi, tim menggunakan kapal riset Airaha 2 milik Akademi Perikanan Sorong, sedangkan untuk mencapai sumber air tawar, tim menggunakan perahu karet kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki. Tak jarang, tim harus menginap di jalan selama berhari-hari.
Program riset karst di wilayah Lengguru sendiri mengkaji keanekargaman hayati dan relasinya dengan historis evolutif Lengguru. Pendekatan DNA Barcoding digunakan dalam penelitian ini.
Wilayah Lengguru yang terletak antara Kepala Burung Papua dan daratan Niugini penting karena menjadi titik kunci penyebaran grup Melanotaenia. Lengguru muncul ke permukaan 10-11 juta tahun silam diikuti munculnya pegunungan tengah Niugini termasuk pegunungan Jayawijaya sekitar 8 juta tahun lalu.
Selama ini, keanekaragaman jenis ikan di wilayah Lengguru belum banyak terdata. Dengan temuan baru ini, jenis ikan pelangi yang terdata menjadi 23 jenis, yang terbagi dalam dua genus yaitu Melanotaenia dan Pelangia.
Terancam
Kadarusman, peneliti dan dosen Akademi Perikanan Sorong, Papua Barat yang juga terlibat penelitian menuturkan bahwa spesies ikan baru yang ditemukan menghadapi tantangan lingkungan yang besar.
“Berdasarkan deskripsi habitat dari keempat spesies baru tersebut, dapat dikatakan bahwa jenis-jenis menawan di atas sedang terancam, mengingat habitatnya sangat terbatas,” urainya dalam surat elektronik kepada Kompas.com, Minggu (22/7/2012).
Jenis Melanotaenia arguni misalnya, menghadapi tantangan karena habitatnya yang mengalami pendangkalan hebat. Hampir semua likukan di Sungai Jasu tempat ikan ini hidup dipenuhi deltas pasir.
Kadarusman pun mengatakan, Melanotaenia arguni juga sangat rentan stres. Saat penelitian, ia menemukan bahwa tubuh ikan ini dipenuhi benjolan putih, kondisi ini mungkin disebabkan oleh kualitas air di habitatnya yang dikelilingi tanaman perkebunan.
Kelangsungan hidup spesies yang baru saja ditemukan ini tergantung pada ketersediaan sumber air dari kawasan karst. Kelangsungan jenis Melanotaenia urisa misalnya, sangat dipengaruhi ketersediaan air bongkahan batu dari pegunungan karst Berari.
Untuk menjaga kelangsungan spesies ini, Kadarusman mengungkapkan perlunya upaya konservasi oleh semua pihak. Sumber daya air di kawasan karst sangat dipengaruhi iklim dan penebangan hutan. Perusakan hutan akan mengganggu kelangsungan ekosistem karst.
Upaya menjaga kelangsungan jenis ikan pelangi bukan tanpa tujuan. Salah satu yang bisa dibayangkan, kelangsungan jenis ikan pelangi akan memberi kesempatan bagi masyarakat setempat untuk menekuni budidaya ikan pelangi sebagai ikan hias.
Gigih Setiawibawa, peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Ikan Hias telah berhasil mendomestikasi puluhan jenis ikan pelangi Papua yang didapatkan sejak ekspedisi tahun 2007 silam. Lebih dari separuh koleksi sudah bisa disebarkan ke masyarakat pembudidaya.
Budidaya ikan pelangi telah dilakukan masyarakat. Namun, masyarakat sebelumnya hanya mengenal jenis M. boesemani asal Danau Ayamaru, Papua Barat dan Glossolepis incisus, asal Sentani, Papua. Penemuan dan pelestarian jenis ikan pelangi akan meningkatkan variasi jenis ikan budidaya.
Editor: Kistyarini
Empat spesies ikan pelangi ditemukan di Papua. Masing-masing adalah Melanotaenia arguni, Melanotaenia urisa, Melanotaenia veoliae, Melanotaenia wanoma.
————
7. Peneliti LIPI Temukan Katak Sebesar Jari
Penulis : Yunanto Wiji Utomo | Kamis, 26 Juli 2012 | 10:31 WIB
Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Amir Hamidy, berhasil menemukan dua spesies baru katak. Masing-masing dinamai Leptobrachium ingeri dan Leptbrachium kanowitense.
Ukuran dua spesies tersebut terbilang mungil, hanya sebesar jari tangan. L ingeri dan L kanowitense hanya memiliki panjang 3-5 cm dengan ukuran betina lebih besar. Spesies ini termasuk yang terkecil di genusnya.
Kedua spesies tersebut ditemukan lewat penelitian spesies kompleks Leptobrachium nigrops yang tersebar di wilayah Semenanjung Malaya, Singapura, Indonesia (Belitung), dan Borneo (Sarawak, Malaysia). Penelitian dilakukan sebab sebelumnya diketahui bahwa populasi L nigrops di Semenanjung Malaya, Belitung, dan Borneo memiliki keragaman genetik tinggi. Hal tersebut menjadi indikasi bahwa masing-masing populasi merujuk pada spesies yang berbeda.
Sebanyak 31 spesimen dari Sarawak Research Collections (SRC), Kyoto University, dan Museum Zoology, Bogor, digunakan untuk analisis morfologi. Adapun 23 spesimen dari 10 spesies dari genus Leptbrachium digunakan untuk analisis molekuler. Suara katak dipelajari dengan rekaman.
Riset menemukan bahwa populasi di masing-masing wilayah memang merujuk pada spesies berbeda. L nigrops adalah populasi yang mendiami Singapura. Populasi yang mendiami Belitung dan pantai Sarawak adalah L ingeri, sedangkan yang mendiami daratan Sarawak adalah L kanowitense.
Dalam wawancara dengan Kompas.com lewat surat elektronik, Kamis (26/7/2012), Amir menuturkan bahwa perbedaan antara ketiga spesies bisa dilihat secara genetik setelah dilakukan analisis pada DNA mitokondria dan inti. “Untuk katak, perbedaan antar jenis dengan jarak 3 persen, biasanya sudah dikatakan berbeda. Jarak genetik antara L. nigrops, L. ingeri dan L. kanowitense sangat besar, lebih dari 9 persen,” urai Amir.
Secara morfologi ketiga spesies memiliki ciri bentuk ujung jari tangan dan kaki, posisi selaput di kaki, warna tympanum (organ serupa telinga pada katak) serta warna bagian perut yang berbeda. L ingeri punya ujung jari lebih meruncing, sedangkan dua jenis lainnya memanjang. L ingeri juga memiliki tympanum hitam dan warna ventral bertotol. Dibanding dua jenis lain, L ingeri memiliki selaput dikaki lebih mengembang (developed).
Sementara itu, L nigrops memiliki ujung jari dan selaput kaki yang kurang berkembang baik. Adapun L kanowitense khas karena memiliki tympanum berwarna cokelat muda dan perut warna putih tanpa totol.
Dari sisi suara, nada suara L nigrops berbeda dari L ingeri note meskipun frekuensinya overlap. Beberapa studi menunjukkan bahwa karakteristik suara jenis katak spesies kompleks memang tak jauh berbeda.
Pembentukan Spesies yang Rumit
Fakta bahwa L nigrops ternyata merupakan tiga spesies yang berbeda menjadikan pemahaman evolusi ketiganya menjadi semakin rumit. Sebelumnya, diketahui bahwa genus Leptobrachium menyebar dari China ke Asia Tenggara dan spesies L nigrops terbentuk.
Kini dengan tiga spesies yang berbeda, spesiasi setidaknya melibatkan dua peristiwa geologis terkait bergabung dan memisahnya Borneo dengan Semenanjung Malaya pada masa Miocene (15 juta tahun lalu) dan Pliocene (5 juta tahun lalu). “L. kanowitense lebih dulu berevolusi menjadi spesies tersendiri,” ungkap Amir yang mengatakan bahwa proses spesiasi ini terjadi saat Borneo pertama kali terpisah dengan Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya.
Setelah pemisahan ini, karena adanya dinamika ketinggian permukaan laut, Borneo kembali menyatu namun kemudian memisah lagi. Proses ini menyebabkan isolasi habitat yang memicu spesiasi. “Proses terisolasi yang kedua kali inilah yang memisahkan nenek moyang L. ingeri dengan nenek moyang L. nigrops dan masing-masing berevolusi menjadi L. ingeri dan L. nigrops,” papar Amir.
Bukti dari proses tersebut bisa dilihat dari penyebaran masing-masing jenis. Saat ini, L ingeri terdistribusi di wilayah pantai Borneo sementara L kanowitense yang ada lebih dulu berada di daratan. Populasi L ingeri saat ini diketahui juga terdapat di Belitung. Karena Pulau Borneo terbentuk lebih dahulu dibanding terbentuknya Belitung, maka diduga L ingeri bermigrasi dari Borneo ke Belitung
Diperkirakan juga, L ingeri bermigrasi hingga Sumatera. Namun, ini benar-benar masih dugaan. Keberadaan spesies itu perlu dibuktikan di wilayah Sumatera, Selat Karimata, dan Kepulauan Natuna. “Kalau misalnya L. ingeri bisa ditemukan di Sumatra, ini akan bisa menguji keabsahan hypothesis ini,” kata Amir yang melakukan studi ini sebagai bagian dari disertasinya di Kyoto University, Jepang.
Dua Kali Lipat Lebih Banyak
Terurainya spesies kompleks L nigrops adalah bentuk sumbangsih teknik analisis molekuler dalam taksonomi saat ini. Beragam jenis spesies kompleks yang sulit diidentifikasi secara morfologi kini bisa dijelaskan
Jika teknik molekuler terus dipakai dalam mempelajari katak, Amir mengatakan, “Saya yakin jumlahnya akan menjadi lebih dari dua kali lipat. Memang tidak semua jenis punya spesies kompleks, tapi untuk katak, saya yakin setiap genus pasti punya spesies kompleks.”
Pendekatan molekuler dalam taksonomi menjadikan tingginya penemuan spesies baru menjadi tak mengherankan. Vietnam, misalnya, memiliki jumlah amfibi yang meningkat dari 82 spesies menjadi 162 spesies dalam 9 tahun dari tahun 1996 sampai 2005.
Indonesia saat ini memiliki sekitar 303 spesies amfibi. Jumlah kekayaan amfibi Indonesia adalah nomor 8 di dunia, nomor 2 di Asia setelah China serta nomor 1 di kawasan Asia Tenggara. Borneo sendiri punya 150 jenis amfibi.
Borneo sendiri dari genus Leptobrachium saja sudah memiliki dua jenis yang merupakan spesies kompleks, yaitu L abbotti dan L montanum. Kawasan Indochina punya spesies kompleks seperti L smithi dan L chapaense.
Dengan kekayaan yang dimiliki, Amir mengatakan bahwa Indonesia seharusnya bisa menjadi pemimpin dalam penelitian biodiversitas di Asia Tenggara. Untuk itu, perlu perhatian pemerintah.
Editor: Laksono Hari W
————–
8. Monyet Punah Ditemukan Lagi di Indonesia
Penulis : Yunanto Wiji Utomo | Jumat, 20 Januari 2012 | 15:42 WIB
Ilmuwan yang meneliti hutan hujan tropis di Indonesia menemukan kembali spesies monyet besar dan berwarna abu-abu yang diduga telah punah. Mereka menemukan kembali langur abu-abu (Presbytis hosei canicrus) yang memiliki wajah hitam dengan bulu-bulu halus di bagian leher yang berwarna abu-abu.
Penemuan itu tak disengaja. Tim sebenarnya sedang memasang kamera jebakan untuk menangkap gambar orangutan, leopard, dan lainnya di hutan Wehea, bagian timur Kalimantan, Juni 2011. Tak disangka, grup monyet yang tak pernah dijumpai sebelumnya muncul.
Penemuan itu menantang tim ilmuwan yang dikepalai oleh Brent Loken dari Simon Fraser University di Kanada. Mereka tak punya foto langur abu-abu. Satu-satunya yang dimiliki adalah sketsa dari museum. “Kami gembira luar biasa mengetahui fakta bahwa ternyata monyet jenis ini masih ada, juga bahwa ini didapati di Wehea,” kata Loken seperti dikutip AP, Jumat (20/1/2012).
Langur yang memiliki ciri mata agak tertutup dan hidung serta bibir yang berwarna sedikit pink ini dipercaya tersebar di Kalimantan, Jawa, Sumatera, dan Thailand. Namun, sebelumnya dinyatakan bahwa jenis ini sudah punah.
Aktivitas pembakaran hutan, konversi lahan, dan pertambangan diduga menjadi sebab jenis ini makin sulit ditemukan. “Bagi saya, penemuan monyet ini adalah representasi betapa banyaknya spesies yang ada di Indonesia,” ucap Loken.
“Ada banyak satwa yang ciri khas dan sebarannya sangat sedikit kita ketahui menghilang begitu cepat. Rasanya, banyak jenis satwa ini akan punah dengan cepat,” tambah Loken.
Sebagai langkah lanjut dari penemuan ini, ilmuwan akan meneliti lebih jauh jumlah langur abu-abu yang ada di wilayah seluas 38.000 hektar. Sejumlah ilmuwan internasional dan dari Indonesia akan terlibat. “Kita akan coba sebisa mungkin. Namun, ini seperti berpacu melawan waktu,” kata Loken.
Pakar primata yang tak tergabung dalam studi ini, Erick Meijaard, menyatakan dukungan terhadap upaya para ilmuwan. “Ini adalah spesies yang penuh teka-teki,” katanya.
Meijaard mengungkapkan, langur abu-abu dipercaya merupakan subspesies dari monyet daun Indonesia (Presbytis hosei) yang juga terdapat di wilayah Malaysia di Borneo. Namun, ada dugaan bahwa langur abu-abu adalah spesies yang berbeda.
“Kami berpikir bahwa mungkin ini spesies yang berbeda. Ini menjadikan penemuan di Kalimantan ini jauh lebih penting,” kata Meijaard.
Sumber:AP
Editor: Pepih Nugraha
Lagur abu-abu (Presbytis hosei canicrus).
—————-
9. Pinang Temuan Baru Endemik Biak
Penulis : Ichwan Susanto | Rabu, 3 Oktober 2012 | 18:10 WIB
Bukan di pedalaman hutan Papua peneliti Charlie D Heatubun menemukan dua tumbuhan pinang jenis baru. Pinang atau palem-paleman Adonidia maturbongsii dan Hydriastele biakensis itu diperoleh di kebun masyarakat di kawasan kota Biak, Papua.
Secara fisik, kedua jenis flora ini beda dengan pinang pada umumnya (Areca catechu) yang digunakan sebagian orang Papua untuk menyirih. Di Papua, terutama daerah pesisir, mengunyah buah pinang dicampur bubuk kapur dan buah sirih sangat jamak. Di tepian jalan hingga sudut permukiman, buah pinang di atas lapak adalah pemandangan sehari-hari.
Sejumlah penelitian menunjukkan, ekstrak buah pinang punya khasiat kesehatan. Menurut penelitian Edy Meiyanto dan kawan-kawan pada Majalah Farmasi Indonesia 2008, aktivitas antiproliferatif (menghambat pembiakan) sel kanker payudara.
Charlie dan rekannya, William J Baker (peneliti Royal Botanic Garden di Inggris), sudah mendaftarkan pada jurnal International Palm Society di Lawrance, Kansas, Amerika Serikat, yang terbit akhir September 2012. Di jurnal itu juga disebutkan, saat mengeksplorasi Supiori di Pulau Numfor, barat laut Biak, mereka menemukan spesies pinang baru lain, Heterospathe porcata.
Temuan ini bukan pertama kalinya bagi Charlie. Setahun lalu, ia memublikasikan temuan 7 spesies pinang baru, Areca bakeri, A churchii, A dransfieldii, A gurita, A mogeana, A triginticollina, dan A riparia, dimuat dalam Journal Phytotaxa pada 14 September 2011.
Terkait temuannya di Biak dan Supiori, Charlie mengatakan, buah Adonidia maturbongsii dapat dikonsumsi. Sementara ukuran pinang Hydriastele biakensis dan Heterospathe porcata terlalu kecil. Apalagi tempurung biji Heterospathe porcata juga terlalu keras untuk diremukkan gigi manusia.
”Untuk burung, biji Heterospathe porcata yang keras adalah ciri khas yang dimakan burung sebagai agen penyebar jenis palem ini,” ungkap pria yang juga Kepala Laboratorium Biologi Kehutanan dan Perlindungan Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua ini di Manokwari, Papua Barat.
Penemuan tiga jenis palem baru ini hasil kombinasi penelitian lapangan, analisis karakter morfologi di herbarium, dan analisis filogenetika molekuler di laboratorium. Tujuan tahapan ini untuk menentukan taksonomi atau sistematika tumbuhan.
”Selain itu, kepentingan pemahaman akan asal-usul dan sebaran tumbuh-tumbuhan di kawasan Malesia,” paparnya kepada Kompas, Selasa (2/10/2012). Kawasan Malesia merupakan wilayah geografi tumbuhan dari perbatasan Thailand dan Malaysia di sisi barat, melalui kepulauan Indonesia sampai ke kepulauan Solomon di Pasifik di sisi timur dan Filipina di sebelah utara, sampai perbatasan dengan Australia di sisi selatan.
Analisis filogenetika, Heterospathe porcata jadi satu-satunya jenis di dalam marga palem Heterospathe yang dijumpai di dataran rendah pada pulau lepas pantai di tanah Papua. Berdasarkan karakter morfologinya, jenis ini punya kekerabatan sangat dekat dengan Heterospathe elegans (Papua Niugini) dan Heterospathe longipes (Fiji).
Sementara Hydriastele biakensis punya kekerabatan sangat dekat dengan Hydriastele palauensis dari Pulau Palau di Samudra Pasifik, yang berjarak 1.000 km dari Pulau Biak.
Menurut Charlie, fungsi ekologis pinang-pinangan secara pasti belum dipahami benar, terutama di hutan alam. Namun, seperti tumbuhan lain, tumbuhan ini berperan menyusun ekosistem hutan serta fungsi-fungsi lain bagi kesuburan dan kestabilan tanah dan air, serta menciptakan iklim mikro. Biji pinang juga sumber makanan mamalia kuskus dan tikus.
Di Biak dan Supiori, di batuan karang berongga dan lapisan tanah tipis, palem-paleman ini beradaptasi baik.
Temuan ini menambah kaya jenis palem-paleman di dunia, mencapai 2.500 jenis. Dari jumlah ini, 500 jenis di Indonesia. Meski banyak, pinang jenis baru itu endemik Biak dan Supiori.
Flora Papua amat melimpah dan belum tergali. Kini, dampak pembangunan mengancamnya.
Sumber: Kompas Cetak
Editor: yunan
Bunga spesies pinang Adonidia maturbongsii
————–
10. Ada Spesies Bambu Baru dari Mekongga
Penulis : Yunanto Wiji Utomo | Minggu, 25 Maret 2012 | 17:33 WIB
Spesies bambu baru ditemukan di Pegunungan Mekongga lewat ekspedisi yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) beberapa waktu lalu.
Bambu tersebut ditemukan oleh Elizabeth A Widjaja, taksonom bambu dari Pusat Penelitian Biologi LIPI.
“Bambunya kecil sekali, tidak punya bulu, tapi punya lapisan lilin. Daunnya juga kecil, hanya 2 cm. Diameter bambunya juga cuma sekitar 2 cm. Bambunya tumbuh merayap,” jelas Elizabeth.
Sampai saat ini, bambu spesies baru tersebut belum dinamai. Dalam waktu dekat, nama akan diberikan dan dipublikasikan.
Menurut Elizabeth, spesies bambu baru tersebut hanya salah satu wujud kekayaan bambu Indonesia. Spesies bambu endemik di Tanah Air saja saat ini diketahui sebanyak 160 jenis.
“Banyak spesies bambu belum terungkap. Di tangan saya saja masih ada 20 spesies dan saya yakin bertambah kalau saya jalan lagi,” katanya saat ditemui dalam diskusi “Bambu Punya Cerita” yang digelar Yayasan KEHATI di Bumi Perkemahan Ragunan, Jakarta, Minggu (25/3/2012).
Spesies bambu yang masih dalam proses identifikasi di antaranya berasal dari wilayah Sulawesi dan Alor.
Editor: Tri Wahono
Bambusa lako, salah satu spesies bambu hitam yang terdapat di Indonesia.
Disclaimer: gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami di halaman ini. atau halaman ini
Segenap rekan dan kerabat K.Y.B Fans Club, syahrulzone2013 dan para BLOGGER mengucapkan selamat menunaikan Ibadah Puasa 1434 H, Mohon maaf lahir dan Batin... ..............................................
Kejadian Yang Bermunculan.................................